Sore itu aku melihat seekor kucing hitam meninggal.
Dia diam terkulai begitu saja kemudian tidak bergerak lagi, merebahkan
tubuhnya di atas keset kuning di depan sebuah rumah mewah. Mewah namun
kosong, kotor dan tamannya nampak tidak terawat. Tanah sengketa katanya.
Di sekolah aku bercerita mengenai hal itu kepada teman-temanku. Entah kenapa aku merasa itu hal menarik, mereka tidak seantusias aku. Kejadian itu bergantung di pikiranku. Beberapa saat sebelum pulang sekolah aku menyapa Nala cowok teman sekelasku, rumah kami berdekatan tapi kami tak begitu dekat mungkin karena dia cowok dan aku tidak begitu dekat dengan mereka. Saat itu aku merasa harus menceritakan kepadanya.
Jadi aku menceritakan cerita itu. Tiba-tiba dia menangis. Bukan menangis tersedak dan keras, tapi airmata mengalir tanpa daya di pipinya.
“ada apa, Kau baik-baik saja” Tanyaku.
“Tak apa” dia kemudian menghapus airmatanya seraya bersembunyi “Tak apa, aku tak apa”
“Kau yakin”
“Maaf. Tak biasanya aku seperti ini. Tapi mendengar ceritamu. Huks... maaf”
“ceritaku begitu sedih ya?” aku menurunkan alis mata kiriku.
“Apa?” dia sedikit terkejut “Kau tak tahu ceritanya? Cerita mengenai rumah itu?” “
“cerita apa?” aku dengan jujur bertanya.
“Mungkin karena kau pindah baru-baru ini ya? Jadi kau tak tahu. Ini cerita terkenal di perumahan kita. Dahulu di daerah itu pernah berdiri rumah besar. Rumah itu diisi oleh seorang pelukis dan seorang doktor. Mereka pasangan suami istri.” dia mengambil nafas panjang.
“Mau tisu” aku teringat punya tisu di tasku. Kami melanjutkan cerita sambil berjalan pulang dari sekolah. Berjalan pulang bareng? jika saja aku ingat saat itu aku pasti akan amat malu. Tapi saat itu pikiranku dipenuhi sang kucing.
“Terimakasih. Ehm, mereka pasangan serasi. Sangat serasi, sang pelukis tampan dan sang dokter cantik. Terutama sang dokter, dia sangat baik hati. Ibuku bilang dia seperti malaikat. Menolong orang dengan dengan murah. Jarang ada dokter sebaik dia. Suaminya juga berbakat.”
“mereka akhirnya punya anak. Anak perempuan, anaknya sangat cantik. Sehingga akhirnya lengkaplah kebahagiaan mereka. Sayangnya, beberapa tahun kemudian, Ibu sang gadis meninggal karena penyakit misterius. Ini merupakan pukulan bagi keluarga itu. Belum lagi diketahui bahwa anak perempuannya mengidap penyakit yang sama dengan ibunya. Bahkan dia lebih lemah lagi.”
“sang ayah berusaha sekuat tenaga mencari obat kemana-mana. Dia mulai meninggalkan dunia melukis. Menjual karya besar yang disimpannya satu demi satu untuk mendapat pengobatan. Sementara putri semata wayangnya disimpan di dalam kamar laksana mutiara. Tidak punya teman hanya sendiri. Dia sangat cantik seingatku. ”
“kau mengenalnya?” tanyaku.
“tidak aku tidak mengenalnya. Saat itu aku masih kecil. Aku mengintip dari sela pagar yang tinggi. Dia sangat cantik, rambut panjang lurus, kulitnya pucat putih. Gambaran seorang bidadari bagiku yang masih kecil.”
“Oh begitu, lalu” aku mengangguk sambil menendangi kerikil.
“Malang sekali, kecelakaan mobil mengambil ayahnya. Dia sendirian. Sanak saudara hendak mengambilnya, tapi dia menolak. Dia tak ingin hidup bagai di dalam akuarium lagi. Dengan sisa warisan ayah ibunya dia dapat melanjutkan hidup di dalam rumah kenangan itu. Saat itu sang gadis sering terlihat berjalan-jalan di sekitar kompleks perumahan.“
“Hingga pada suatu hari penyakit itu hendak merenggut nyawanya. Dia dibawa paksa oleh para tetangga ke rumah sakit. Dia tak bisa diselamatkan.
Kau tahu. Dulu sewaktu dia masih terkurung di dalam rumah, anak kucing liar sering mengunjungi dan menemaninya. Mungkin dulu dia hanya iseng memberi makan kucing liar tanpa pemberitahuan ayahnya. Ayahnya tak mungkin mengizinkannya. Hingga setelah itu, kucing itu selalu menemaninya. Mungkin malah lebih mirip keluarganya. Dulu waktu aku mengintip dari pagar aku melihatnya bersama kucing hitam itu.”
Aduh.
“Kau tahu, waktu gadis itu meninggal aku ingat sekali sang kucing mengeong begitu keras mencari gadis itu di sekitar kompleks. Rumahku kan berada di sebelahnya, susah tidur.”
Aduh. Aduh
“Mungkin kucing itu sedang pergi, tidak tahu bahwa tuannya telah meninggal. Dia setia menunggu di sana kapan tuannya kembali pulang. Tapi sayang sekali. Eh kamu kenapa.”
Airmataku mengalir begitu saja. Nala kelabakan, biarkan saja. Habisnya kisahnya sedih sih. Kenapa sih ada kisah sedih kayak gitu.
“tidak, ridak apa apa.”
Air mataku tak dapat berhenti. Mengalir begitu saja. Seakan mata air yang muncul tanpa kusuruh. Seakan aku tak punya kendali lagi. Mengalir begitu saja, seakan ada es yang tiba-tia mencair. Melumer hingga membasahi pipiku.
“eh, ja..jangan nangis”
“huks, si siapa yang nangis. Hiks, hiks”
Sore harinya, kami pergi ke sana untuk menguburkan mayat sang kucing. Nala memliki ide untuk menguburkannya di sebelah kuburan sang gadis. Setelah meyakinkan sang penjaga makam kami diperbolehkan menguburnya di sana. Kini sang kucing tak perlu menunggu lebih lama lagi untuk bisa bertemu dengan tuannya. Semoga mereka berbahagia di dunia sana.
-tamat-
Di sekolah aku bercerita mengenai hal itu kepada teman-temanku. Entah kenapa aku merasa itu hal menarik, mereka tidak seantusias aku. Kejadian itu bergantung di pikiranku. Beberapa saat sebelum pulang sekolah aku menyapa Nala cowok teman sekelasku, rumah kami berdekatan tapi kami tak begitu dekat mungkin karena dia cowok dan aku tidak begitu dekat dengan mereka. Saat itu aku merasa harus menceritakan kepadanya.
Jadi aku menceritakan cerita itu. Tiba-tiba dia menangis. Bukan menangis tersedak dan keras, tapi airmata mengalir tanpa daya di pipinya.
“ada apa, Kau baik-baik saja” Tanyaku.
“Tak apa” dia kemudian menghapus airmatanya seraya bersembunyi “Tak apa, aku tak apa”
“Kau yakin”
“Maaf. Tak biasanya aku seperti ini. Tapi mendengar ceritamu. Huks... maaf”
“ceritaku begitu sedih ya?” aku menurunkan alis mata kiriku.
“Apa?” dia sedikit terkejut “Kau tak tahu ceritanya? Cerita mengenai rumah itu?” “
“cerita apa?” aku dengan jujur bertanya.
“Mungkin karena kau pindah baru-baru ini ya? Jadi kau tak tahu. Ini cerita terkenal di perumahan kita. Dahulu di daerah itu pernah berdiri rumah besar. Rumah itu diisi oleh seorang pelukis dan seorang doktor. Mereka pasangan suami istri.” dia mengambil nafas panjang.
“Mau tisu” aku teringat punya tisu di tasku. Kami melanjutkan cerita sambil berjalan pulang dari sekolah. Berjalan pulang bareng? jika saja aku ingat saat itu aku pasti akan amat malu. Tapi saat itu pikiranku dipenuhi sang kucing.
“Terimakasih. Ehm, mereka pasangan serasi. Sangat serasi, sang pelukis tampan dan sang dokter cantik. Terutama sang dokter, dia sangat baik hati. Ibuku bilang dia seperti malaikat. Menolong orang dengan dengan murah. Jarang ada dokter sebaik dia. Suaminya juga berbakat.”
“mereka akhirnya punya anak. Anak perempuan, anaknya sangat cantik. Sehingga akhirnya lengkaplah kebahagiaan mereka. Sayangnya, beberapa tahun kemudian, Ibu sang gadis meninggal karena penyakit misterius. Ini merupakan pukulan bagi keluarga itu. Belum lagi diketahui bahwa anak perempuannya mengidap penyakit yang sama dengan ibunya. Bahkan dia lebih lemah lagi.”
“sang ayah berusaha sekuat tenaga mencari obat kemana-mana. Dia mulai meninggalkan dunia melukis. Menjual karya besar yang disimpannya satu demi satu untuk mendapat pengobatan. Sementara putri semata wayangnya disimpan di dalam kamar laksana mutiara. Tidak punya teman hanya sendiri. Dia sangat cantik seingatku. ”
“kau mengenalnya?” tanyaku.
“tidak aku tidak mengenalnya. Saat itu aku masih kecil. Aku mengintip dari sela pagar yang tinggi. Dia sangat cantik, rambut panjang lurus, kulitnya pucat putih. Gambaran seorang bidadari bagiku yang masih kecil.”
“Oh begitu, lalu” aku mengangguk sambil menendangi kerikil.
“Malang sekali, kecelakaan mobil mengambil ayahnya. Dia sendirian. Sanak saudara hendak mengambilnya, tapi dia menolak. Dia tak ingin hidup bagai di dalam akuarium lagi. Dengan sisa warisan ayah ibunya dia dapat melanjutkan hidup di dalam rumah kenangan itu. Saat itu sang gadis sering terlihat berjalan-jalan di sekitar kompleks perumahan.“
“Hingga pada suatu hari penyakit itu hendak merenggut nyawanya. Dia dibawa paksa oleh para tetangga ke rumah sakit. Dia tak bisa diselamatkan.
Kau tahu. Dulu sewaktu dia masih terkurung di dalam rumah, anak kucing liar sering mengunjungi dan menemaninya. Mungkin dulu dia hanya iseng memberi makan kucing liar tanpa pemberitahuan ayahnya. Ayahnya tak mungkin mengizinkannya. Hingga setelah itu, kucing itu selalu menemaninya. Mungkin malah lebih mirip keluarganya. Dulu waktu aku mengintip dari pagar aku melihatnya bersama kucing hitam itu.”
Aduh.
“Kau tahu, waktu gadis itu meninggal aku ingat sekali sang kucing mengeong begitu keras mencari gadis itu di sekitar kompleks. Rumahku kan berada di sebelahnya, susah tidur.”
Aduh. Aduh
“Mungkin kucing itu sedang pergi, tidak tahu bahwa tuannya telah meninggal. Dia setia menunggu di sana kapan tuannya kembali pulang. Tapi sayang sekali. Eh kamu kenapa.”
Airmataku mengalir begitu saja. Nala kelabakan, biarkan saja. Habisnya kisahnya sedih sih. Kenapa sih ada kisah sedih kayak gitu.
“tidak, ridak apa apa.”
Air mataku tak dapat berhenti. Mengalir begitu saja. Seakan mata air yang muncul tanpa kusuruh. Seakan aku tak punya kendali lagi. Mengalir begitu saja, seakan ada es yang tiba-tia mencair. Melumer hingga membasahi pipiku.
“eh, ja..jangan nangis”
“huks, si siapa yang nangis. Hiks, hiks”
Sore harinya, kami pergi ke sana untuk menguburkan mayat sang kucing. Nala memliki ide untuk menguburkannya di sebelah kuburan sang gadis. Setelah meyakinkan sang penjaga makam kami diperbolehkan menguburnya di sana. Kini sang kucing tak perlu menunggu lebih lama lagi untuk bisa bertemu dengan tuannya. Semoga mereka berbahagia di dunia sana.
-tamat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar